DWI DIUJIWANTI

Minggu, 27 Mei 2012

TEKA-TEKI

BAB II
TEORI

2.1 Definisi Teka-teki
Pertanyaan tradisional, di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabannya sukar, bahkan seringkali juga baru dapat dijawab setelah mengetahui lebih dahulu jawabannya. Teka-teki ini dapat dianggap sebagai salah satu hasil sastra melayu lama pada taraf permulaan, tetapi dapat juga disebut sebagai salah satu jenis folklor melayu. Sebagaimana diketahui dalam teka-teki, isi atau maksudnya tidak dapat dikemukakan  secara langsung tetapi disuruh untuk menerka, disamarkan atau disembunyikan.
Menurut Robert A. George dan Alan Dundes teka-teki adalah “ Ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan (descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabnya (referent) harus diterka “ (George & Dundes, 1963:113).
Selanjutnya menurut kedua sarjana itu teka-teki dapat digolongkan kedalam dua kategori umum, yakni : (1) teka-teki yang tidak bertentangan, dan (2) teka-teki yang bertentangan. Pembagian itu berdasarkan ada atau tidak adanya pertentangan diantara unsur-unsur pelukisan. Teka-teki yang tidak bertentangan unsur-unsur pelukisannya bersifat harfiah, yakni seperti apa yang tertulis (literal), atau kiasan (metaphorikal). Teka-teki bertentangan berciri pertentangan anatara paling sedikit sepasang unsur pelukisannya.
Uraian kategori dan analisa teka-teki diatas merupakan cara strukturalis dari Georges dan Dundes. Selain itu, masih ada banyak cara pengklasifikasian dan penganalisaan lainnya seperti dari Archer Taylor, seorang ahli folklor AS, yang kini sudah tiada lagi.
Archer taylor di dalam bukunya yang berjudul English Riddles from Oral Tradition (1951), telah membedakan teka-teki dalam dua golongan umum, yakni : (1) teka-teki yang sesungguhnya (true riddle) dan (2) teka-teki yang tergolong bentuk lainnya (lihat Brunvand, 1968: 49-58) perbedaan terletak pada hubungan yang ada pada jawab dengan pertanyaannya, sehingga dapat dipecahkan dengan logika. Hal itu berlaku pada teka-teki sesungguhnya, tetapi tidak berlaku pada teka-teki yang tergolong bentuk lainnya, karena pada golongan yang terakhir ini jawabnya tidak ada hubungan, sehingga tidak dapat diterangkan dengan mempergunakan logika saja, melainkan diperlukan pengetahuan tertentu (Brunvand, 1968:52).
Archer Taylor mencoba untuk mengklasifikasikan  teka-teki berdasarkan sifat hal yang digambarkan di dalam pertanyaan yang menurut dia ada tujuh kategori umum, yaitu sebagai berikut :
1.    Persamaan dengan makhluk hidup (” Makhluk apa, yang pada pagi hari mempunyai empat kaki, pada siang hari dua kaki, dan pada malam hari tiga kaki? “jawabnya: “Manusia!”)
2.    Persamaan dengan binatang (“ ayam apa yang berbulu terbalik, bermain di kebun?” jawabnya: “buah nenas”)
3.    Persamaan dengan berbagai binatang (“Dua ekor kelinci putih keluar masuk gua, apa itu?” jawabnya: “ ingus di hidung seorang anak kecil yang sedang pilek!”)
4.    Persamaan dengan manusia (“ nenek jatuh bersorak, apa itu?” jawabnya:”daun kelapa kering yang rontok, waktu jatuh kebumi menimbulkan suara keras.”)
5.    Persamaan dengan beberapa orang (“ anaknya bersarung induknya telanjang, apakah itu?” jawabnya: “rebung dan bambu.”)
6.    Persamaan dengan tanaman (“ jagung apa makan jagung di Cipanas ?” jawabnya:”jaksa agung”)
7.    Persamaan dengan benda (“ mas apa yang banyak di ekspor ke Lampung?” jawabnya:” mas jawa”)
Selain ketujuh kategori umum itu, menurut Archer Taylor masih ada empat kategori lagi, yang bukan  berdasarkan sifat hal yang digambarkan di dalam pertanyaan melainkan karena pertambahan keterangan yang lebih mendetail. Keempat kategori itu adalah sebagai berikut.
8.    Pertambahan keterangan perumpamaan (“ bulat bagaikan simpai, dalam bagaikan cangkir, seluruh sapi jantan raja tidak dapat menariknya. “ jawabnya:” sebuah sumur.”)
9.    Pertambahan keterangan pada bentuk dan fungsi (“tambal sini tambal sana, tetapi tidak ada bekas jahitannya.” Jawabnya : “sayur kubis.”)
10.    Pertambahan keterangan pada warna (“ dilempar keatas hijau, jatuh kebawah merah.” Jawabnya : “semangka”)
11.    Pertambahan dalam tindakan (“ buah apa yang dibuang luarnya, dimasak dalamnya, dimakan luarnya, dan dibuang dalamnya?” jawabnya adalah “buah jagung”).
Selain sebelas kategori Archer Taylor bagi teka-teki sebenarnya itu, Jan Harold Brunvand kemudian menambahkan dua lagi, yang ia sebut dengan nama neck riddle(teka-teki leher)  dan pretended obscene, yakni teka-teki yang seolah-olah cabul ( Brunvand, 1968:58). Untuk indonesia kiranya perlu ditambah satu yakni “teka-teki yang benar-benar cabul.
2.2 Jenis Teka-teki
Menurut Winstedt (1939:3), teka-teki digolongkan menjadi dua bagian, yaitu teka-teki bernilai sastra dan teka-teki tak bernilai sastra. Contoh teka-teki tak bernilai sastra misalnya, “tumbuhan apa yang mempunyai daun seperti pedang dan buahnya seperti gong?” jawabnya “nenas”. Sedangkan teka-teki yang bernilai sastra misalnya “ gendang gendut tali kecapi.” Maksudnya “ kenyang perut suka hati”.
Jenis teka-teki seperti ini telah dikumpulkan oleh OT Dussek dalam bukunya “teka-teki” (1918). Dalam bukunya tersebut, dijumpai berbagai macam teka-teki dalam lingkungan dunia tumbuh-tumbuhan, senjata, alat-alat musik, binatang, alam, tentang kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya.
Sebagai contoh :
“ Ketika kecil pakai baju hijau, sudah besar  pakai baju kesumba. Dari kecil baju hijau, setelah besar baju merah. Luarnya surga dalamnya neraka.” Jawabnya “ lombok ”.
“ Hitam legam seperti hantu, putih hatinya. Kecil berbaju merah, besar berbaju hijau, apabila hendak mati berbaju merah.” Jawabnya “manggis”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar